Blogger Template by Blogcrowds


A. undang-undang Pemerintahan Tentang Buruh, Tenaga Kerja dan Pegawai
            Perusahaan kini kian mencari celah untuk mendapatkan upah buruh murah yaitu dengan memasang pengumuman lowongan pelatihan kerja dimana-mana. Recruitment pun diambil oleh kantor kelurahan dan melalui sekolah kejuruan dengan biaya administrasi sebesar Rp.30.000. sebagian besar yang mendaftar adalah pencari kerja yang selama ini belum mendapatkan pekerjaan bahkan ada yang telah berstatus menikah. Saat kami menanyakan kenapa teman-teman mau mengikuti lowongan pelatihan kerja, ia menjawab “ ya gimana lagi pak.. saya ingin kerja, mencari uang buat menyambung hidup”. Jawaban itu membuat saya sedih ternyata mereka mau karena terpaksa karena mencari pekerjaan saat ini susah, jadi mau tidak mau kesempatan itu harus diambil. Kemudian saya melihat bagaimana peserta pelatihan ini mengikuti pelatihan kerja, ternyata setelah tes tertulis dan kesehatan mereka training kelas sehari kemudian mereka langsung dipindahkan ke area proses produksi dengan status OJT (On Job Training) mereka  ditempatkan bersama karyawan tetap dan kontrak memproses barang jadi untuk dijual. Secara pekerjaan peserta pelatihan ini sama dengan karyawan tetap dan karyawan kontrak tetapi secara pendapatan dan jaminan berbeda berikut yang mereka dapatkan:
No
Status
Upah
Transport
Makan
Pengobatan
Perawatan
Tunjangan Shift
Jam-sostek
waktu
1
Pelatihan
844.864
Tidak ada
Kantin Perusahaan
Klinik Perusahaan
Tidak ada
ada
ada
14 hari
2
Magang
844.864
Tidak ada
Kantin Perusahaan
Klinik Perusahaan
Tidak ada
ada
ada
6 bulan
Waktu Pelatihan adalah 14 hari, setelah 14 hari peserta mereka yang status OJT (On Job Training) mengikuti post test kemudian masuk ke status Magang yang waktunya selama 6 bulan, kemudian dilakukan evaluasi dengan diberikan sertifikat dari LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang dibentuk perusahaan yang ingin mendapatkan upah buruh murah.
Bahkan Id Card peserta Pelatihan ini tertulis LPK Nama Perusahaan dan terdapat NIS ( Nomor Induk Siswa) Bukan NIK ( Nomor Induk Karyawan) dan Bagiannya tertulis  Pelatihan Kerja,  tetapi dalam Slip Gaji yang terlutis NIK dan Bagiannya Produuksi, inilah kejanggalan kenapa mereka dipekerjakan sama dengan karyawan tetap dan kontrak tetapi Upah saja tidak mencapai UMK dan tunjangan-tunjangan tidak mereka dapatkan.
Filosofis di buatnya Undang Undang Ketenagakerjaan ( Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 ) adalah sebagaimana termaktub di dalam Penjelasan Ketentuan Umum adalah,” Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual.”
Regulasi Internasional terkait ketenagakerjaan meliputi, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar Internasional Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu :
a.     Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No.98);
b.     Diskriminasi ( Konvensi ILO No. 100, dan No. 111 );
c.     Kerja Paksa ( Konvensi ILO No. 29, dan No. 105 ); dan
d.     Perlindungan Anak ( Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 );
Pasal 9 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003,” Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.” Penjelasannya : Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.
Pasal 11 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003,” Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja
Penjelasan pasal 12 ayat 1,2 dan 3 Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003:
Ayat (1) : Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Ayat (2): Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)]: Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan
Penjelasan pasal 18 ayat 2  Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003:
Ayat (2): Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
Penjelasan pasal 54  Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003 tentang perjanjian kerja:
Ayat (2) : Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
Kemudian dalam dasar pendirian Perusahaan yang tercantum didalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama), menjelaskan nama Perusahaan, Lokasi Perusahaan, bergerak dalam bidang industry,  dengan Akta Notaris No sekian-sekian, jadi Perusahaan yang bergerak dibidang Industry, bukan Perusahaan yang bergerak di Lembaga Pelatihan Kerja.
Bahkan dengan Adanya LPK dan Magang Kualitas menurun drastis apakan ini tidak merugikan baik Perusahaan dan juga Pekerjanya, kalau hal semacam itu tidak segera diambil tindakan tinggal menunggu waktu Customer akan memindah oerdernya ke Perusahaan yang mampu memberikan Kualitas yang baik.
Bahkan di dalam UU/13/2003 dijelaskan bahwa tentang Ketenagakerjaan terkait Hubungan Kerja hanya mengatur status karyawan kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan karyawan permanen (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), tidak ada karyawan LPK dan magang.  Dan bahkan penggunaan karyawan kontrak juga dilihat dari sisi pekerjaannya permanen atau sifatnya sementara sedangkan kalau sifatnya permanen tidak boleh mempergunakan karyawan kontrak.
Sedangkan kalau alasan perusahaan membutuhkan penambahan tenaga kerja seharusnya sesuai dengan syarat penerimaan karyawan yang tercantum dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) bukan membuat aturan tanpa dibicarakan dengan  Serikat Pekerja, sedangkan bila  Serikat Pekerja Menolak Sistem LPK dan Magang Perusahaan menafsirkan Kalau PUK Serikat Pekerja tidak mau diajak diskusi, Kanapa setelah bermasalah mau mengajak Serikat Pekerja berdiskusi, ini menganggap kalau diperusahaan tersebut seolah-olah tidak ada Serikat Pekerja-nya.
Tentang Tenaga Kerja Asing
Syarat-syarat TKA (tenaga kerja asing atau expatriate) untuk menjadi pilot di perusahaan aviasi (penerbangan) Indonesia, pada dasarnya sama seperti ketentuan dan persyaratan untuk mempekerjakan TKA pada umumnya. 
Berdasarkan pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”), TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja, untuk jabatan tertentu dan untuk waktu tertentu. Artinya, TKA yang dipekerjakan di Indonesia – termasuk untuk jabatan pilot – harus ada sponsornya, yaitu perusahaan atau pemberi kerja TKA yang mempekerjakannnya atas dasar perjanjian kerja. Dengan perkataan lain, TKA tidak boleh menjadi “pekerja mandiri” (vrijeberoepen), seperti bekerja sebagai dokter praktek, akuntan, lawyer, konsultan atau profesional lainnya secara mandiri.
Selanjutnya ada pembatasan, tidak semua jabatan (pekerjaan) dapat diduduki oleh TKA. Dalam arti, TKA hanya boleh dipekerjakan pada jabatan-jabatan tertentu yang – berdasarkan ENT (economic need test) – belum ada orang Indonesia (tenaga kerja Indoneia/TKI) yang dapat/mampu menduduki jabatan tersebut, termasuk untuk jabatan pilot (pasal 42 ayat [5] dan pasal 46 UU No. 13/2003). Demikian juga, tidak boleh seseorang TKA dipekerjakan selama-lamanya atau permanen (berdasarkan perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu yang tidak ditentukan), akan tetapi TKA hanya dapat dipekerjakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sesuai perkiraan jangka waktu proses alih teknologi dan alih keahlian (transfer of technology atau transfer of knowhow) khususnya kepada TKI pendamping atau TKI lainnya (penjelasan pasal 45 ayat (1) huruf a dan b UU No. 13/2003).
Selain itu, pemberi kerja TKA (sponsor) haruslah berbentuk korporasi (baik entity atau legal entity). Karena dalam penggunaan TKA, Indonesia menganut azas sponsorship yang berbentuk korporasi, sehingga pemberi kerja orang-perorangan dilarang mempekerjakan TKA (pasal 42 ayat [2] UU No. 13/2003).
Syarat yang paling penting yaitu bahwa setiap pemberi kerja (sponsor) yang akan mempekerjakan TKA - termasuk perusahaan aviasi - wajib memilki izin yang disebut izin mempekerjakan tenaga kerja asingatau IMTA. Izin tersebut dimaksudkan agar penggunaan TKA dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan TKI secara optimal (penjelasan pasal 42 ayat [1] UU No. 13/2003 dan pasal 1 angka 5 Permenakertrans. No. 02/Men/III/2008). Dalam kaitan ini, yang diberikan izin (IMTA) bukan kepada TKA-nya, akan tetapi kepada perusahaan – sponsornya - yang (akan) mempekerjakan TKA dimaksud. Oleh karenanya, setiap sponsor yang akan meng-hire TKA, terlebih dahulu wajib membuat planning yang disebut rencana penggunaan tenaga kerja asing atau RPTKA. RPTKA ini – antara lain - memuat alasan penggunaan TKA, jabatan yang akan diduduki oleh TKA, untuk jangka waktu berapa lama TKA akan dipekerjakan pada suatu jabatan, dan penunjukkan – nama - tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA (pasal 42 ayat [1] dan pasal 43 ayat [2] UU No. 13/2003 jo pasal 3 ayat [1] dan ayat [2] Permenakertrans. No.02/Men/III/2008, lihat juga pasal 381 ayat [4] UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan).
Persyaratan berikutnya - yang bersifat personal -, termasuk kepada TKA untuk jabatan pilot, antara lain adalah :
a)   TKA yang bersangkutan memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki (pasal 21 ayat [1] huruf a Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
b)   bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya (melakukan transfer of knowledge) kepada tenaga kerja warga negara Indonesia (TKI), khususnya pendampingnya, yakni TKI pendamping  (vide pasal 45 ayat [1] huruf a UU No. 13/2003);
c)   dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia (pasal 21 ayat [1] huruf c Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
d)   harus memenuhi standar kompetensi kerja apabila telah ada standar kompetensi kerja nasional Indonesia atau SKKNI untuk jabatan dimaksud (pasal 44 UU No. 13/2003 jo pasal 21 ayat [2] Permenakertrans No.02/Men/III/2008).
e)   TKI pendamping harus memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan TKA yang didampinginya (pasal 21 ayat [3] Permenakertrans No. 02/Men/III/2008)
f)    TKA yang bersangkutan telah memiliki asuransi sosial dan/atau asuransi jiwa (pasal 4 Permenakertrans No. 02/Men/III/2008 jo pasal 2 Permenakertrans No. 02/Men/XII/2004)
Sedangkan persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh sponsornya (perusahaan aviasi), yakni:
a.   membuat RPTKA dan mengesahkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Dirjen Bina Penempatan Tenaga Kerja/Direktur Penggunaan Tenaga Kerja Asing (vide pasal 43 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 3 dan pasal 11 Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
b.   mengurus rekomendasi visa dari Direktur Penggunaan TKA untuk disampaikan kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM (TA-01) (vide pasal 23 ayat [1] dan pasal (2) Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
c.   mengajukan permohonan IMTA (vide pasal 42 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 22 dan pasal 24 ayat [1] Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
d.   membayar dana kompensasi penggunaan TKA sebesar US$ 100/bulan/TKA (vide pasal 47 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 1 ayat [2] PP No. 92 Tahun 2000 [Lampiran IIA, angka Rum III] dan pasal 25 ayat [1] Permenakertrans. No.02/Men/III/2008);
e.   memulangkan TKA setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja yang ditentukan (vide pasal 48 UU No. 13/2003);




Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.   Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
3.   Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
4.   Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenag Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing;

B. Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.Baca Selanjutnya..
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia –baik yang berdomisili di kota maupun di desa– menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena “less papers/documents” dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive advantages.
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan pembangunan.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki, yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.
Membangun peluang bisnis perusahaan, ada dua cara yang utama. Pertama, semua lini manajemen harus bagus. Yang kedua, memilih salah satu saja, misalnya manajemen SDM (Sumber Daya Manusia) atau pemasaran. Sepanjang sejarah berdirinya perusahaan pertama di dunia hingga saat ini, terdapat pergeseran secara umum mengenai titik berat manajemen yang mana di perusahaan, yang menjadi perhatian utama.
Secara umum ada 4 jenis manajemen yang wajib di perusahaan skala menengah-besar. Yakni, manajemen operasi, pemasaran, keuangan dan SDM (Hanafi, 2004). Pada tahun 1960-70an, sudut pandang yang berkembang adalah keseimbangan proporsi pengelolaan dalam sebuah perusahaan. Jika digambarkan dalam bentuk grafik :
gabungan1
Mengalami pergeseran pada tahun 1970-80-an, perusahaan cenderung menitikberatkan pengelolaan keuangan. Seorang akuntan dan ekonom sangat menjanjikan pada masa ini.
Pada tahun 1980-90an, mengalami pergeseran penitikberatan pengelolaan. Pemasaran berjaya. Dianggap bahwa jika pemasaran perusahaan tidak baik, maka kacaulah semuanya.
Rupanya pemasaran tidak mandek untuk merajai pengelolaan perusahaan. Di era 90-an sampai tahun 2000, manajemen pemasaran bahkan dianggap menjadi inti kecil sebuah perusahaan. Manajemen lainnya dianggap sebagai pendukung.
Sampai dengan era setelah tahun 2000, pemasaran masih dianggap sangat penting di sebagian perusahaan besar dunia. Walaupun bukan semata inti kecil perusahaan. Manajemen operasi memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan keuangan dan SDM.
Lalu apakah manajemen SDM sebegitunya bisa disepelekan? Ternyata tidak mudah juga menjawab hal itu. Jika mau melihat dengan detail sejarah manajemen SDM, tidak akan terlepas dari istilah manajemen personalia. Awal MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) adalah dari perkembangan keilmuan manajemen personalia. Manajemen personalia ditengarai oleh beberapa pakar hanya mencakup ”scientific management” dalam mengelola manusia sebagai karyawan atau pekerja perusahaan. Dalam pemerintahan, manajemen personalia menjadi tugas ”Biro Kepegawaian”. Maksud dari ”scientific management” adalah pengelolaan manusia dipandang melibatkan faktor pengaturan aktivitas. Sebagai contohnya staffing, penerimaan gaji, kompensasi, insentif, absensi dan jejang karir yang bersifat teknis. Sedangkan MSDM sebagai sesuatu yang baru menawarkan satu cabang lagi selain ”scientific management”, yakni ”human management”. Dimana pengelolaan manusia sebagai seorang karyawan dikelola perilaku atau behaviour-nya. Sebagai contoh faktor kepemimpinan, motivasi, kedisiplinan dan hubungan antar karyawan. Itulah sebabnya, beberapa perusahaan menarik orang lulusan psikologi untuk menjabat sebagai MSDM, karena dipandang dapat mengelola ”human management” perusahaan.
Sejarah perkembangan keilmuan MSDM tidak bisa dilepaskan dari perkembangan negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1920-30-an keilmuan MSDM mulai muncul dan berkembang (Alwi, 2001). MSDM dengan pendekatan soft approach dikemukakan oleh HBS (Harvard Business School), dimana lebih menekankan pada sisi humanistik. Sedangkan MBS (Michigan Business School) mengemukakan MSDM dengan pendekatan hard approach.
Jadi ada dua inti utama dalam MSDM yakni pengelolaan aktivitas dan perilaku. Beberapa pakar memandang di perusahaan yang ”gemuk” dalam hal jumlah karyawan, MSDM menjadi faktor utama. Karena dengan pengelolaan karyawan yang baik, akan menjadi aspek kompetitif perusahaan untuk bersaing dengan lainnya. Dengan pengelolaan MSDM yang baik seperti pembuatan desain konfigurasi organisasi, maka MSDM tetap bisa dijadikan titik berat pengelolaan di sebuah perusahaan saat ini. Desain konfigurasi seperti diungkapkan oleh Mintzberg (1993) ada 5 tipe, yang memiliki keunikan masing-masing; simple, machine bureaucrazy, professional bureaucrazy, adocrazy,dan divisonalize.
Krisis global yang melanda saat ini (baca: krisis yang disebabkan kredit macet kepemilikan rumah di AS, 2008) telah membuat banyak perusahaan sakit. Oleh karena itu penitikberatan MSDM dalam pengelolaan perusahaan bisa dijadikan alternatif yang tidak salah. Sehingga apabila perusahaan sehat kembali, dapat meraih peluang bisnisnya dengan lebih baik (Muhammad, 2001). Subjek utama dalam perusahaan, yakni manusia sebagai karyawan sudah sepantasnya harus mempunyai kompetensi yang baik terlebih dahulu.
REFERENSI:
Alwi, Syafaruddin. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE UGM.
Hanafi, Mamduh. 2004. Manajemen Keuangan. Yogyakarta : BPFE UGM.
Mintzberg, Henry. 1993. Structure in Five. New Jersey : Prentice Hall International.
Muhammad, Suwarsono. 2001. Strategi Penyehatan Perusahaan. Yogyakarta : UPP ST

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda