Blogger Template by Blogcrowds


A. undang-undang Pemerintahan Tentang Buruh, Tenaga Kerja dan Pegawai
            Perusahaan kini kian mencari celah untuk mendapatkan upah buruh murah yaitu dengan memasang pengumuman lowongan pelatihan kerja dimana-mana. Recruitment pun diambil oleh kantor kelurahan dan melalui sekolah kejuruan dengan biaya administrasi sebesar Rp.30.000. sebagian besar yang mendaftar adalah pencari kerja yang selama ini belum mendapatkan pekerjaan bahkan ada yang telah berstatus menikah. Saat kami menanyakan kenapa teman-teman mau mengikuti lowongan pelatihan kerja, ia menjawab “ ya gimana lagi pak.. saya ingin kerja, mencari uang buat menyambung hidup”. Jawaban itu membuat saya sedih ternyata mereka mau karena terpaksa karena mencari pekerjaan saat ini susah, jadi mau tidak mau kesempatan itu harus diambil. Kemudian saya melihat bagaimana peserta pelatihan ini mengikuti pelatihan kerja, ternyata setelah tes tertulis dan kesehatan mereka training kelas sehari kemudian mereka langsung dipindahkan ke area proses produksi dengan status OJT (On Job Training) mereka  ditempatkan bersama karyawan tetap dan kontrak memproses barang jadi untuk dijual. Secara pekerjaan peserta pelatihan ini sama dengan karyawan tetap dan karyawan kontrak tetapi secara pendapatan dan jaminan berbeda berikut yang mereka dapatkan:
No
Status
Upah
Transport
Makan
Pengobatan
Perawatan
Tunjangan Shift
Jam-sostek
waktu
1
Pelatihan
844.864
Tidak ada
Kantin Perusahaan
Klinik Perusahaan
Tidak ada
ada
ada
14 hari
2
Magang
844.864
Tidak ada
Kantin Perusahaan
Klinik Perusahaan
Tidak ada
ada
ada
6 bulan
Waktu Pelatihan adalah 14 hari, setelah 14 hari peserta mereka yang status OJT (On Job Training) mengikuti post test kemudian masuk ke status Magang yang waktunya selama 6 bulan, kemudian dilakukan evaluasi dengan diberikan sertifikat dari LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang dibentuk perusahaan yang ingin mendapatkan upah buruh murah.
Bahkan Id Card peserta Pelatihan ini tertulis LPK Nama Perusahaan dan terdapat NIS ( Nomor Induk Siswa) Bukan NIK ( Nomor Induk Karyawan) dan Bagiannya tertulis  Pelatihan Kerja,  tetapi dalam Slip Gaji yang terlutis NIK dan Bagiannya Produuksi, inilah kejanggalan kenapa mereka dipekerjakan sama dengan karyawan tetap dan kontrak tetapi Upah saja tidak mencapai UMK dan tunjangan-tunjangan tidak mereka dapatkan.
Filosofis di buatnya Undang Undang Ketenagakerjaan ( Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 ) adalah sebagaimana termaktub di dalam Penjelasan Ketentuan Umum adalah,” Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual.”
Regulasi Internasional terkait ketenagakerjaan meliputi, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar Internasional Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu :
a.     Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No.98);
b.     Diskriminasi ( Konvensi ILO No. 100, dan No. 111 );
c.     Kerja Paksa ( Konvensi ILO No. 29, dan No. 105 ); dan
d.     Perlindungan Anak ( Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 );
Pasal 9 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003,” Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.” Penjelasannya : Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.
Pasal 11 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003,” Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja
Penjelasan pasal 12 ayat 1,2 dan 3 Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003:
Ayat (1) : Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Ayat (2): Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)]: Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan
Penjelasan pasal 18 ayat 2  Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003:
Ayat (2): Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
Penjelasan pasal 54  Undang Undang Nomor  13 Tahun 2003 tentang perjanjian kerja:
Ayat (2) : Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
Kemudian dalam dasar pendirian Perusahaan yang tercantum didalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama), menjelaskan nama Perusahaan, Lokasi Perusahaan, bergerak dalam bidang industry,  dengan Akta Notaris No sekian-sekian, jadi Perusahaan yang bergerak dibidang Industry, bukan Perusahaan yang bergerak di Lembaga Pelatihan Kerja.
Bahkan dengan Adanya LPK dan Magang Kualitas menurun drastis apakan ini tidak merugikan baik Perusahaan dan juga Pekerjanya, kalau hal semacam itu tidak segera diambil tindakan tinggal menunggu waktu Customer akan memindah oerdernya ke Perusahaan yang mampu memberikan Kualitas yang baik.
Bahkan di dalam UU/13/2003 dijelaskan bahwa tentang Ketenagakerjaan terkait Hubungan Kerja hanya mengatur status karyawan kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan karyawan permanen (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), tidak ada karyawan LPK dan magang.  Dan bahkan penggunaan karyawan kontrak juga dilihat dari sisi pekerjaannya permanen atau sifatnya sementara sedangkan kalau sifatnya permanen tidak boleh mempergunakan karyawan kontrak.
Sedangkan kalau alasan perusahaan membutuhkan penambahan tenaga kerja seharusnya sesuai dengan syarat penerimaan karyawan yang tercantum dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) bukan membuat aturan tanpa dibicarakan dengan  Serikat Pekerja, sedangkan bila  Serikat Pekerja Menolak Sistem LPK dan Magang Perusahaan menafsirkan Kalau PUK Serikat Pekerja tidak mau diajak diskusi, Kanapa setelah bermasalah mau mengajak Serikat Pekerja berdiskusi, ini menganggap kalau diperusahaan tersebut seolah-olah tidak ada Serikat Pekerja-nya.
Tentang Tenaga Kerja Asing
Syarat-syarat TKA (tenaga kerja asing atau expatriate) untuk menjadi pilot di perusahaan aviasi (penerbangan) Indonesia, pada dasarnya sama seperti ketentuan dan persyaratan untuk mempekerjakan TKA pada umumnya. 
Berdasarkan pasal 42 ayat (4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”), TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja, untuk jabatan tertentu dan untuk waktu tertentu. Artinya, TKA yang dipekerjakan di Indonesia – termasuk untuk jabatan pilot – harus ada sponsornya, yaitu perusahaan atau pemberi kerja TKA yang mempekerjakannnya atas dasar perjanjian kerja. Dengan perkataan lain, TKA tidak boleh menjadi “pekerja mandiri” (vrijeberoepen), seperti bekerja sebagai dokter praktek, akuntan, lawyer, konsultan atau profesional lainnya secara mandiri.
Selanjutnya ada pembatasan, tidak semua jabatan (pekerjaan) dapat diduduki oleh TKA. Dalam arti, TKA hanya boleh dipekerjakan pada jabatan-jabatan tertentu yang – berdasarkan ENT (economic need test) – belum ada orang Indonesia (tenaga kerja Indoneia/TKI) yang dapat/mampu menduduki jabatan tersebut, termasuk untuk jabatan pilot (pasal 42 ayat [5] dan pasal 46 UU No. 13/2003). Demikian juga, tidak boleh seseorang TKA dipekerjakan selama-lamanya atau permanen (berdasarkan perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu yang tidak ditentukan), akan tetapi TKA hanya dapat dipekerjakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sesuai perkiraan jangka waktu proses alih teknologi dan alih keahlian (transfer of technology atau transfer of knowhow) khususnya kepada TKI pendamping atau TKI lainnya (penjelasan pasal 45 ayat (1) huruf a dan b UU No. 13/2003).
Selain itu, pemberi kerja TKA (sponsor) haruslah berbentuk korporasi (baik entity atau legal entity). Karena dalam penggunaan TKA, Indonesia menganut azas sponsorship yang berbentuk korporasi, sehingga pemberi kerja orang-perorangan dilarang mempekerjakan TKA (pasal 42 ayat [2] UU No. 13/2003).
Syarat yang paling penting yaitu bahwa setiap pemberi kerja (sponsor) yang akan mempekerjakan TKA - termasuk perusahaan aviasi - wajib memilki izin yang disebut izin mempekerjakan tenaga kerja asingatau IMTA. Izin tersebut dimaksudkan agar penggunaan TKA dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan TKI secara optimal (penjelasan pasal 42 ayat [1] UU No. 13/2003 dan pasal 1 angka 5 Permenakertrans. No. 02/Men/III/2008). Dalam kaitan ini, yang diberikan izin (IMTA) bukan kepada TKA-nya, akan tetapi kepada perusahaan – sponsornya - yang (akan) mempekerjakan TKA dimaksud. Oleh karenanya, setiap sponsor yang akan meng-hire TKA, terlebih dahulu wajib membuat planning yang disebut rencana penggunaan tenaga kerja asing atau RPTKA. RPTKA ini – antara lain - memuat alasan penggunaan TKA, jabatan yang akan diduduki oleh TKA, untuk jangka waktu berapa lama TKA akan dipekerjakan pada suatu jabatan, dan penunjukkan – nama - tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA (pasal 42 ayat [1] dan pasal 43 ayat [2] UU No. 13/2003 jo pasal 3 ayat [1] dan ayat [2] Permenakertrans. No.02/Men/III/2008, lihat juga pasal 381 ayat [4] UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan).
Persyaratan berikutnya - yang bersifat personal -, termasuk kepada TKA untuk jabatan pilot, antara lain adalah :
a)   TKA yang bersangkutan memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki (pasal 21 ayat [1] huruf a Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
b)   bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya (melakukan transfer of knowledge) kepada tenaga kerja warga negara Indonesia (TKI), khususnya pendampingnya, yakni TKI pendamping  (vide pasal 45 ayat [1] huruf a UU No. 13/2003);
c)   dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia (pasal 21 ayat [1] huruf c Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
d)   harus memenuhi standar kompetensi kerja apabila telah ada standar kompetensi kerja nasional Indonesia atau SKKNI untuk jabatan dimaksud (pasal 44 UU No. 13/2003 jo pasal 21 ayat [2] Permenakertrans No.02/Men/III/2008).
e)   TKI pendamping harus memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan TKA yang didampinginya (pasal 21 ayat [3] Permenakertrans No. 02/Men/III/2008)
f)    TKA yang bersangkutan telah memiliki asuransi sosial dan/atau asuransi jiwa (pasal 4 Permenakertrans No. 02/Men/III/2008 jo pasal 2 Permenakertrans No. 02/Men/XII/2004)
Sedangkan persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh sponsornya (perusahaan aviasi), yakni:
a.   membuat RPTKA dan mengesahkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Dirjen Bina Penempatan Tenaga Kerja/Direktur Penggunaan Tenaga Kerja Asing (vide pasal 43 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 3 dan pasal 11 Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
b.   mengurus rekomendasi visa dari Direktur Penggunaan TKA untuk disampaikan kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM (TA-01) (vide pasal 23 ayat [1] dan pasal (2) Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
c.   mengajukan permohonan IMTA (vide pasal 42 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 22 dan pasal 24 ayat [1] Permenakertrans No. 02/Men/III/2008);
d.   membayar dana kompensasi penggunaan TKA sebesar US$ 100/bulan/TKA (vide pasal 47 ayat [1] UU No. 13/2003 jo pasal 1 ayat [2] PP No. 92 Tahun 2000 [Lampiran IIA, angka Rum III] dan pasal 25 ayat [1] Permenakertrans. No.02/Men/III/2008);
e.   memulangkan TKA setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja yang ditentukan (vide pasal 48 UU No. 13/2003);




Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.   Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
3.   Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
4.   Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenag Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing;

B. Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.Baca Selanjutnya..
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia –baik yang berdomisili di kota maupun di desa– menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena “less papers/documents” dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive advantages.
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan pembangunan.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki, yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.
Membangun peluang bisnis perusahaan, ada dua cara yang utama. Pertama, semua lini manajemen harus bagus. Yang kedua, memilih salah satu saja, misalnya manajemen SDM (Sumber Daya Manusia) atau pemasaran. Sepanjang sejarah berdirinya perusahaan pertama di dunia hingga saat ini, terdapat pergeseran secara umum mengenai titik berat manajemen yang mana di perusahaan, yang menjadi perhatian utama.
Secara umum ada 4 jenis manajemen yang wajib di perusahaan skala menengah-besar. Yakni, manajemen operasi, pemasaran, keuangan dan SDM (Hanafi, 2004). Pada tahun 1960-70an, sudut pandang yang berkembang adalah keseimbangan proporsi pengelolaan dalam sebuah perusahaan. Jika digambarkan dalam bentuk grafik :
gabungan1
Mengalami pergeseran pada tahun 1970-80-an, perusahaan cenderung menitikberatkan pengelolaan keuangan. Seorang akuntan dan ekonom sangat menjanjikan pada masa ini.
Pada tahun 1980-90an, mengalami pergeseran penitikberatan pengelolaan. Pemasaran berjaya. Dianggap bahwa jika pemasaran perusahaan tidak baik, maka kacaulah semuanya.
Rupanya pemasaran tidak mandek untuk merajai pengelolaan perusahaan. Di era 90-an sampai tahun 2000, manajemen pemasaran bahkan dianggap menjadi inti kecil sebuah perusahaan. Manajemen lainnya dianggap sebagai pendukung.
Sampai dengan era setelah tahun 2000, pemasaran masih dianggap sangat penting di sebagian perusahaan besar dunia. Walaupun bukan semata inti kecil perusahaan. Manajemen operasi memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan keuangan dan SDM.
Lalu apakah manajemen SDM sebegitunya bisa disepelekan? Ternyata tidak mudah juga menjawab hal itu. Jika mau melihat dengan detail sejarah manajemen SDM, tidak akan terlepas dari istilah manajemen personalia. Awal MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) adalah dari perkembangan keilmuan manajemen personalia. Manajemen personalia ditengarai oleh beberapa pakar hanya mencakup ”scientific management” dalam mengelola manusia sebagai karyawan atau pekerja perusahaan. Dalam pemerintahan, manajemen personalia menjadi tugas ”Biro Kepegawaian”. Maksud dari ”scientific management” adalah pengelolaan manusia dipandang melibatkan faktor pengaturan aktivitas. Sebagai contohnya staffing, penerimaan gaji, kompensasi, insentif, absensi dan jejang karir yang bersifat teknis. Sedangkan MSDM sebagai sesuatu yang baru menawarkan satu cabang lagi selain ”scientific management”, yakni ”human management”. Dimana pengelolaan manusia sebagai seorang karyawan dikelola perilaku atau behaviour-nya. Sebagai contoh faktor kepemimpinan, motivasi, kedisiplinan dan hubungan antar karyawan. Itulah sebabnya, beberapa perusahaan menarik orang lulusan psikologi untuk menjabat sebagai MSDM, karena dipandang dapat mengelola ”human management” perusahaan.
Sejarah perkembangan keilmuan MSDM tidak bisa dilepaskan dari perkembangan negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1920-30-an keilmuan MSDM mulai muncul dan berkembang (Alwi, 2001). MSDM dengan pendekatan soft approach dikemukakan oleh HBS (Harvard Business School), dimana lebih menekankan pada sisi humanistik. Sedangkan MBS (Michigan Business School) mengemukakan MSDM dengan pendekatan hard approach.
Jadi ada dua inti utama dalam MSDM yakni pengelolaan aktivitas dan perilaku. Beberapa pakar memandang di perusahaan yang ”gemuk” dalam hal jumlah karyawan, MSDM menjadi faktor utama. Karena dengan pengelolaan karyawan yang baik, akan menjadi aspek kompetitif perusahaan untuk bersaing dengan lainnya. Dengan pengelolaan MSDM yang baik seperti pembuatan desain konfigurasi organisasi, maka MSDM tetap bisa dijadikan titik berat pengelolaan di sebuah perusahaan saat ini. Desain konfigurasi seperti diungkapkan oleh Mintzberg (1993) ada 5 tipe, yang memiliki keunikan masing-masing; simple, machine bureaucrazy, professional bureaucrazy, adocrazy,dan divisonalize.
Krisis global yang melanda saat ini (baca: krisis yang disebabkan kredit macet kepemilikan rumah di AS, 2008) telah membuat banyak perusahaan sakit. Oleh karena itu penitikberatan MSDM dalam pengelolaan perusahaan bisa dijadikan alternatif yang tidak salah. Sehingga apabila perusahaan sehat kembali, dapat meraih peluang bisnisnya dengan lebih baik (Muhammad, 2001). Subjek utama dalam perusahaan, yakni manusia sebagai karyawan sudah sepantasnya harus mempunyai kompetensi yang baik terlebih dahulu.
REFERENSI:
Alwi, Syafaruddin. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE UGM.
Hanafi, Mamduh. 2004. Manajemen Keuangan. Yogyakarta : BPFE UGM.
Mintzberg, Henry. 1993. Structure in Five. New Jersey : Prentice Hall International.
Muhammad, Suwarsono. 2001. Strategi Penyehatan Perusahaan. Yogyakarta : UPP ST

konsep khilafah


                                                                                                                NAMA                        : MIA SUMIYATI
                                                                                    NIM                : 208 400 770
                                                                                    JUR/SMSTR   : MD/V
                                                                                    Mata Kuliah   : Kepemimpinan
KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM

A.    Ayat-Ayat Tentang Khalifah

v  Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah di bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
v  Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah di bumi, dan telah mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain, untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika mereka berlaku zhalim, dan para rasul telah datang kepada mereka dengan keterangan yang nyata akan tetapi mereka tidak beriman. Demikianlah Kami membalas kaum yang suka berbuat jahat. Kemudian Kami telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka agar Kami melihat bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
v  Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sesudah kaum Nuh, dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS Al-A’raf: 69) [ucapan Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sepeninggal kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf: 74) [ucapan  Shalih as. kepada kaumnya]



v  Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf mereka (menjadikan mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana  Dia telah meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum mereka, dan (janji) bahwa Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai-Nya bagi mereka …..”. (QS  Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf  (yang dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
v  Ayat-ayat Yang Memuat Kata Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy) dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah,   …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
1.      Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
2.      Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya.
3.      Al-takhalluf : terlambat
4.      Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan)
5.      Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.


Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
B.     Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
C.     Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam Kitab Allah.
Sebagai pemikul amanat Allah, manusia telah dibekali dengan akal. Dengan akal itulah manusia memahami isi kitab Allah. Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat memahami isi kitab Allah. Akal yang bisa memahami adalah akal yang difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial. Ia akan menjadi aktif setelah disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha Adil. Setiap manusia yang bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan) akalnya pasti akan diberi hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang bermujahadah dalam (mencari jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang belum menemukan jalan Tuhannya pastilah orang yang belum bermujahadah (berusaha sekuat tenaga) dalam mencari jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim telah bermujahadah dalam mencari Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang panjang akhirnya Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Akal yang berada dibawah sinar hidayah Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab Allah. Namun perlu disadari bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas pemahaman yang dihasilkan pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat adalah sinar nubuwwah (kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami hal-hal yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar kenabian itu, Allah telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah untuk meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran interpretasi nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari nabi harus diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar hidayah yang derajatnya berada setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah yang diterima oleh para ulama. Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan mampu memahami hal-hal yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, para ulama merupakan referensi sekunder dalam mencari interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan pendapat dalam interpretasi pada dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, keluasan pandangan yang berbeda, atau kedalaman pandangan yang berbeda. Barangsiapa mampu memandang suatu persoalan dari segala sudut pandang, meliputi segenap dimensinya, dan menyentuh bagian-bagian terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan tersebut dengan pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari sebuah obyek tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian proyeksi dari obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara menyeluruh (dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami bagian luar obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak sempurna.
D.    Sunnatullah: Segala Sesuatu Membutuhkan Sang Pengatur (Pemimpin)
Allah merupakan Sang Pengatur Tertinggi atas segala sesuatu. Seandainya tidak ada Sang Pengatur Tertinggi, niscaya alam akan rusak binasa. Bahkan kalaupun ada pengatur, namun jumlahnya ada dua dan sederajat, maka alam akan rusak binasa pula. “Andaikan di langit dan bumi ada banyak ilah selain Allah, tentu keduanya akan rusak binasa” (QS. Al-Anbiya’: 22).
Keberadaan manusia sebagai pengganti Allah di bumi berarti bahwa manusia merupakan pengatur bagi segenap yang ada di bumi agar tidak rusak binasa. Apabila bumi mengalami kerusakan maka yang bertanggung jawab adalah manusia. Oleh karena itu, segenap kerusakan yang ada di bumi akan dinisbatkan kepada sikap dan tingkah laku manusia. “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat tingkah laku manusia” (QS. Al-Ruum: 41).
Setiap manusia merupakan pengatur (al-raa’y), hanya saja ruang lingkupnya bisa beragam. “Setiap kalian adalah pengatur (al-raa’y, penggembala) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengaturannya (kepemimpinannya). Setiap manusia bertanggung jawab atas kelestarian alam, karena alam merupakan obyek bumi yang mengelilingi manusia. Komunitas sesama manusia pun memerlukan pengaturan, karena setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin akan kontraproduktif terhadap kepentingan individu yang lain. Jika berbagai kepentingan individu ini tidak diatur oleh seorang pengatur maka kepentingan-kepentingan tersebut akan saling bertabrakan sehingga akan terjadi kerusakan. Tabrakan-tabrakan kepentingan inilah yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai sesuatu yang harus ditengahi dengan hukum (al-hukm), yang tidak lain adalah hukum Allah. Hukum Allah inilah yang akan bisa menengahi pertikaian kepentingan secara adil (bi al-‘adl, bi al-qisth), sehingga segala sesuatu akan berada pada tempat yang semestinya, sehingga keseimbangan alam pun akan tetap terjaga.
E.     Hukum Menegakkan Khilafah (Negara)
Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal.
Golongan kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus. Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis. Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan tegak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ? Mungkinkah setiap manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang berperangai dan berbuat jahat ?
Titik temu diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum Allah merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan (negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan. Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah. Apabila suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang pada asalnya tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.
F.      Kriteria Seorang Pemimpin
Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam, yang berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.
Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat) terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya  membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul  sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).
Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm), sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas.
Imam Mawardi menyebut golongan penguasa sebagai ahlul imamah, yang harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
1.      Al-‘adalat.
2.      Ilmu ijtihad.
3.      Memiliki kesehatan indera pendengaran, penglihatan, dan lisan.
4.      Memiliki kesehatan anggota badan yang memungkinkan baginya bergerak dengan baik.
5.      Memiliki kapasitas intelektual yang melimpah, yang memungkinkan baginya untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat.
6.      Memiliki heroisme yang memungkinkan baginya menjaga kedaulatan negara.
7.      Nasab: harus dari kabilah Quraisy.


Kalau kita mengamati kriteria Mawardi, maka kita dapati bahwa kriteria ke-1 dan ke-2 merupakan kriteria al-‘ilm, sementara kriteria ke-3 sampai dengan kriteria ke-6 masuk kedalam kriteria al-quwwat. Kriteria ke-3 dan ke-4 merupakan kekuatan fisik (al-quwwat al-jasadiyyat), sedangkan kriteria ke-5 dan ke-6 merupakan kekuatan non fisik (al-quwwat al-ma’nawiyyat).
Satu kriteria yang sepintas lalu tidak termasuk kedalam dua kriteria asasi adalah kriteria ke-7 (nasab). Namun kalau dicermati, kriteria nasab pada dasarnya masuk kedalam kriteria al-quwwat. Sebagaimana dikatakan oleh beberapa pakar sosiologi Islam, keharusan nasab Quraisy bagi seorang khalifah (pemimpin tertinggi dunia Islam) pada hakikatnya bertujuan untuk menggalang legitimasi dan dukungan dari segenap lapisan rakyat, karena pada masa-masa awal Islam kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling dihormati dan disegani oleh semua pihak. Dengan demikian apabila sang khalifah berasal dari Quraisy, maka legitimasi dan dukungan akan mudah didapat, sehingga stabilitas pemerintahan bisa dicapai. Jadi, nasab ke-Quraisy-an disini merupakan kekuatan legitimasi bagi seorang penguasa. Kekuatan legitimasi sendiri merupakan salah satu bentuk kekuatan (al-quwwat).
Ada baiknya jika kita mencoba untuk merumuskan kembali kriteria Mawardi dalam tataran pertengahan, tidak terlampau esensial (sebagaimana tampak pada dua kriteria asasi) sehingga terkesan mengawang-awang, namun juga tidak terlampau derivatif (sebagaimana tampak pada formulasi Mawardi) sehingga bersifat kondisional (tidak selalu relevan dengan segala kondisi).
Kriteria pertama (al-‘adalat, integritas pribadi) tidak membawa persoalan.
Kriteria kedua juga merupakan suatu kepastian. Ilmu ijtihad merupakan kecerdasan teoritis-transendental (al-kais al-nazhariy al-syar’iy) yang merupakan instrumen yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia bisa menetapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Tanpa kriteria kedua ini, kepemimpinan seseorang akan terlepas dari kerangka Ilahi, yang berarti menyalahi fungsi manusia sebagai khalifat al-Lah.
Kriteria ketiga pada dasarnya lebih mengarah pada fungsi dari indera-indera fisiknya  ketimbang jasad fisik dari indera-indera fisik itu. Indera penglihatan dan penglihatan merupakan alat eksternal untuk memperoleh pengetahuan secara sempurna. Indera lisan merupakan alat yang paling cepat dan efektif untuk menyampaikan informasi (pengetahuan). Jadi ketiga indera tersebut merupakan hardware untuk input dan output dari suatu “CPU” yang bernama akal. Andaikan ada alat artificial yang bisa menggantikan fungsi input dan output pengetahuan dengan kualitas yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga alat indera tersebut, niscaya keberadaan alat artificial tersebut bisa memenuhi kriteria ketiga. Namun, adakah ciptaan manusia yang bisa menyamai ciptaan Allah ?
Kriteria keempat (kelengkapan anggota badan yang memungkinkan gerak yang baik) pada dasarnya ditetapkan untuk menjamin kemampuan dalam melakukan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Betapa banyak aktivitas yang membutuhkan gerak, baik gerak anggota badan relatif terhadap badan maupun gerak badan relatif terhadap bumi. Di masa silam, semua tuntutan tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan anggota badan yang lengkap. Namun di era informasi-globalisasi sekarang ini, berbagai aktivitas yang layaknya dilakukan oleh seorang khalifah tidaklah secara mutlak mensyaratkan kelengkapan anggota badan. Jadi, kriteria keempat Mawardi, dengan formulasi beliau, tidak lagi relevan untuk saat ini. Yang masih relevan adalah jiwa dari formulasi beliau, yaitu jaminan kemampuan untuk menunaikan segenap aktivitas seorang khalifah.
Kriteria kelima (kapasitas intelektual) tidak membawa persoalan baru. Yang dimaksud dengan kapsitas intelektual disini ialah kecerdasan praktis (al-dzaka’ al-‘amaliy) atau kebijaksanaan praktis (al-hikmat al-‘amaliyat) mengenai segenap masalah yang berkaitan dengan usaha untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat. Masalah-masalah tersebut beragam sesuai dengan tuntutan realitas (mathlub al-waqi’).
Kriteria keenam (heroisme) berarti ketegasan mengambil sikap dalam segala usaha untuk menjaga kedaulatan negara. Jika kriteria ini tidak terpenuhi maka musuh akan memandang rendah negara dan mudah merongrong kedaulatan negara. Seorang khalifah haruslah seorang mujahid, yang tidak segan-segan mengangkat pedang menghadapi orang-orang yang berbuat zhalim dan orang-orang yang menghalangi dakwah agama Allah.
Kriteria ketujuh (nasab) sudah penulis singgung didepan. Jiwa dari kriteria ini adalah kekuatan legitimasi dalam rangka menjaga kesatuan umat dan stabilitas negara.
Apabila kita rangkum, jiwa dari kriteria Mawardi adalah sebagai berikut:
1.      Integritas pribadi.
2.      Kecerdasan teoritis-transendental.
3.      Sanggup menerima dan menyampaikan informasi / pengetahuan secara sempurna.
4.      Jaminan kemampuan untuk melakukan segenap aktivitas seorang khalifah.
5.      Kapasitas intelektual.
6.      Heroisme (ruhul jihad).
7.      Kekuatan legitimasi.
G.    Macam-macam Kepemimpinan: Khilafah dan Kerajaan (Mulk)
Menurut Ibn Taimiyyah, para nabi Allah dibedakan atas tiga kategori dalam kaitannya dengan kekuasaan (al-mulk).
Ø  Pertama, nabi yang didustakan dan tidak diikuti oleh kebanyakan kaumnya, dimana dia merupakan seorang nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan oleh Allah (nabi tanpa singgasana), seperti Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa.
Ø  Kedua, nabi yang sekaligus penguasa (nabiyy malik), seperti Dawud, Sulaiman, dan Yusuf. Indikasi keberkuasaannya ialah bahwa mereka memerintahkan hal-hal yang sifatnya mubah.
Ø  Ketiga, nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan namun ditaati dan diikuti oleh kebanyakan kaumnya, yakni Muhammad saw. Indikasi ketidakberkuasaannya ialah bahwa beliau tidak akan memerintahkan sesuatupun kecuali dengan perintah Allah (wahyu). Ketika Rasulullah saw. ditanya oleh Allah,”Pilihlah, apakah engkau ingin menjadi hamba dan rasul (‘abd rasul), ataukah engkau ingin menjadi nabi sekaligus raja (nabiyy malik)”. Maka beliau memilih menjadi hamba dan rasul, dengan meninggalkan kerajaan. Jadi, Nabi Muhammad bukanlah seorang raja, namun beliau adalah pemimpin umat. Kepemimpinan Rasulullah yang demikian ini disebut sebagai khilafat al-nubuwwat (kepemimpinan Nabi). Dengan posisi inilah beliau telah memimpin Negara Madinah.
Karena kita adalah umat Muhammad yang harus ber-uswah kepada beliau, maka kita dituntut untuk bisa mewujudkan kembali kepemimpinan model Rasulullah sepeninggal beliau. Kepemimpinan ini sering disebut sebagai khilafat al-nubuwwat atau khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, atau biasa disingkat dengan sebutan khilafah saja.
H.    Diskusi Ekstensif Mengenai Bentuk Negara
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah, kita mencatat bahwa apabila beliau konsisten, maka disana masih tertinggal perbedaan pendapat mengenai bentuk negara. Disatu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa khilafah itu wajib dan hanya boleh ditinggalkan dengan sebab-sebab tertentu. Namun disisi lain ada pendapat yang mengatakan bahwa adanya ijtihad yang memperbolehkan penegakan mulk itu juga tidak mengakibatkan dosa, apabila negara diselenggarakan dengan adil. Dari sini  kita dapati bahwa titik temu yang pasti hanyalah keadilan. Dan memang poin inilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Kalau memang kata kuncinya adalah keadilan, maka dengan menghubungkan antara kata ini dengan periodisasi kekuasaan yang disebutkan Nabi, kita akan mendapatkan bahwa mulk ‘adhudh dan mulk jabbariy tidak termasuk kedalam bentuk negara yang diperbolehkan oleh syariat. Sebabnya tidak lain adalah karena sifat ‘adhudh (lalim) dan jabbariy (otoriter)  itu sendiri bertentangan dengan sifat keadilan. Dengan demikian, hanya mulk wa rahmat sajalah yang merupakan mulk yang diperbolehkan oleh syariat, karena makna rahmat selaras dengan makna keadilan. Pemerintahan Muawiyah termasuk kedalam mulk wa rahmat, sehingga karenanya absah menurut syariat. 
Dengan demikian kita memahami bahwa  segala bentuk pemerintahan saat ini pada asalnya tidak dibenarkan oleh syariat (karena sudah lewat dari mulk wa rahmat), sehingga kita harus berusaha untuk menegakkan suatu pemerintahan yang adil, yang berdasarkan periodisasi Nabi tidak lain adalah khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat.
Namun tentu saja, basis dari semua pemikiran ini adalah keyakinan terhadap hadits sebagai sumber syariat. Tanpa keyakinan tersebut, niscaya segala pandangan diatas tidak ada artinya sama sekali.
Diskusi mengenai bentuk negara juga tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang mekanisme pemilihan seorang khalifah. Beberapa terminologi modern mengenai bentuk-bentuk negara dibuat berdasarkan pada mekanisme pemilihan kepala negaranya, misalnya negara demokrasi, negara monarki, negara teokrasi, atau negara teo-demokrasi (istilah yang diperkenalkan oleh Maududi). Untuk itu, berikut ini kita akan membahas tentang mekanisme pemilihan khalifah.
I.       Mekanisme Pemilihan Khalifah
Terdapat banyak pendapat mengenai bagaimanakah seorang khalifah ditetapkan yaitu:
Pertama, khalifah ditetapkan dengan nash. Ini merupakan pendapat kaum Syi’ah.
Kedua, khalifah ditetapkan dengan pemilihan (al-ikhtiyar).
Pendapat kedua inipun masih terbagi-bagi menjadi berbagai pandangan. Sebagian membolehkan penetapan khalifah dengan ikhtiyar (penetapan) khalifah sebelumnya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah harus dipilih oleh rakyat banyak.
Penetapan khalifah dengan nash akan memunculkan suatu negara teokrasi, apabila disertai dengan keyakinan bahwa khalifah merupakan wakil Tuhan di bumi, yang memegang kebenaran absolut.
Penetapan khalifah atas dasar ketetapan khalifah sebelumnya semata akan memunculkan negara monarki. Sementara penetapan khalifah atas dasar pilihan rakyat banyak akan memunculkan negara demokrasi. Istilah negara teo-demokrasi muncul belakangan dengan makna negara demokrasi yang dibingkai oleh norma-norma Ilahi, sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Dalam konteks ini, istilah negara demokrasi (lebih tepatnya demokrasi liberal) kemudian diartikan sebagai negara yang sepenuhnya tergantung pada rakyatnya, tanpa dibatasi oleh otoritas transendental.
Keharusan penetapan khalifah dengan nash hanya diyakini oleh kaum Syi’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) beranggapan bahwa penetapan khalifah dilakukan dengan pemilihan. Pemilihan khalifah oleh rakyat merupakan suatu bentuk akad antara dua pihak, yakni antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Dr. Sanhoury (dalam bukunya Le Califat) menegaskan bahwa akad khilafah merupakan akad yang hakiki, sehingga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana lazimnya akad dalam kajian fiqih. Salah satu rukun yang beliau sebutkan ialah keridhaan dari kedua belah pihak. Keridhaan rakyat berarti legitimasi mereka atas khalifah, sementara keridhaan khalifah berarti kesediaan dan keikhlasan khalifah.  Jadi, khilafah pada dasarnya merupakan suatu kontrak sosial.
Secara lebih spesifik, sebagian ulama mengatakan bahwa akad khilafah merupakan akad wikalah (perwakilan, pemindahan kuasa), suatu jenis akad yang sangat populer dalam kajian fiqih. Mereka mengatakan demikian karena khilafah tidak bisa ditetapkan oleh seseorang pada dirinya sendiri, sebagaimana seseorang tidak mungkin mengambil kuasa tanpa pemberian kuasa dari pemilik kuasa. Karena khilafah merupakan akad wikalah, maka segenap konsekuensi wikalah juga berlaku pada khilafah. Diantara konsekuensi tersebut ialah bahwa khilafah tidak serta-merta diwariskan berdasarkan keturunan. Konsekuensi yang lain ialah bahwa turunnya sang khalifah tidak serta-merta menyebabkan turunnya segenap pejabat khalifah yang diangkat oleh rakyat, karena jabatan mereka merupakan akad antara mereka dan rakyat dan bukan antara mereka dan sang khalifah.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akad khilafah tidak bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Alasannya, rakyat tidak bisa seenaknya mencabut kuasanya atas sang khalifah sebagaimana seorang pemberi kuasa bisa sesuka hati mencabut kuasanya.  Disamping itu, khalifah dituntut untuk menunaikan prinsip-prinsip Ilahi yang mana rakyat tidak bisa mengkuasakan kepada khalifah untuk menunaikan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi tersebut.
Dari perdebatan diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa khilafah merupakan suatu akad namun tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Meskipun demikian, tidak bisa diingkari bahwa khilafah merupakan perwakilan (niyabah) kaum muslimin, sehingga kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya berasal dari kaum muslimin itu sendiri.
Dari berbagai pendapat para ulama, penetapan khalifah bisa dilakukan melalui berbagai mekanisme sebagai berikut.
Pertama, dengan pemilihan langsung oleh setiap orang (demokrasi langsung).
Kedua, khalifah ditetapkan oleh ahlul hall wal ‘aqd yang mewakili rakyat.
Ketiga, khalifah ditetapkan oleh khalifah sebelumnya.
Mekanisme kedua dan ketiga harus diikuti dengan baiat ‘ammat, yaitu baiat yang dilakukan oleh segenap rakyat terhadap khalifah. Baiat ini merupakan bukti atas keridhaan rakyat terhadap sang khalifah. Jadi, mekanisme apapun yang dipakai harus bisa menjamin bahwa kekuasaan sang khalifah berasal dari rakyat. Lain lagi halnya jika khalifah ditetapkan dengan nash. Karena penetapan ini dianggap sebagai otoritas Tuhan maka rakyat pun tidak berhak untuk campur tangan didalamnya.
Hal penting yang harus dicamkan ialah bahwa orang-orang yang menetapkan sang khalifah harus memenuhi beberapa persyaratan. Inilah yang membedakan antara sistem politik Islam dengan sistem demokrasi liberal. Orang-orang yang dimaksud disini ialah setiap pemilih pada sistem demokrasi langsung, anggota ahlul hall wal ‘aqd, atau khalifah sebelumnya. Imam Mawardi menetapkan tiga persyaratan untuk orang-orang tersebut: 1)Al-‘adalat.  2) Ilmu tentang siapakah yang secara mu’tabar / syar’i berhak menjadi khalifah. 3) Kapasitas intelektual yang memungkinkan seseorang   untuk menetapkan siapakah yang paling tepat secara politis (berdasarkan pertimbangan maslahat ) untuk menjadi khalifah.

REFERENSI:


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda